Senin, 21 Juni 2010

Dongeng Untuk Ayah


*Assamua'laikum teman.teman .....
bagi teman.teman yg ingin membaca cerpen sy,, ya silakan aja... gratiss kok .. tp sebelum membacanya harap baca Bismillah dulu yaa :D
ini hanya cerita fiksi belakang,, hohohooho. hasil khayalan gw yang sedikit menguras tenaga *hahahha,, (heboh bangeett)
cedikoOttLaaaaHhhh :)



Pagi itu, berlahan matahari mulai menampakan sinarnya, segelas susu hangat sudah siap tersedia dimeja depan pelataran rumahku. Sekilas kupandangi kaktus hijau milik buah hati ku. Kaktus itu seakan mengingatkan ku pada sesuatu yang menggocang jiwaku, tanpa kusadari “praaakkkk” ku lempar saja gelas susus yang ku pegang dengan sekuat tenaga tepat di pot kaktus tersebut. Entah mengapa emosi ku tiba-tiba meluap tak terkendali. Sungguh aku sangat geram saat itu tapi tanpa kusadari ada sesuatu yang sangat lembut dari belakang ku.. uhhhh, ternyata ia buah hatiku yang sedang berpeluk mesra di belakang ku. Ia memang begitu manja dengan ku. Mulai kubalikan badan dan duduk jongkok tepat sejajar dengan kepalanya, berlahan ku usap kepalanya dan ku peluk Ia. Aku berusaha menciptakan sikap yang harmonis untuk buah hati ku. Ia sungguh anak yang manis dan wajahnya yang oriental mirip sekali dengan ayahnya. Ia buah hati ku, Ia hanya gadis kecil yang tak berdosa. Layaknya kertas putih akan ku goreskan “tinta emas” untuk kehidupannya kelak, itu janji yang selalu terpatri dalam hatiku sejak ia masih dalam rahimku.


Belum lepas dari peluk ku, terdengar suara lirih dari buah hati ku. “ma..” Suara lembutnya masuk kerongga-rongga telingaku lewat alat dengarku. Belum sempat ku balas panggilannya, kata itu berlanjut menjadi “rindu ayah”. Tesentak ku mendengar kata itu, karena sungguh baru ku dengar kata-kata itu keluar dari dari bibir mungilnya. Ku lepas peluknya, ku pandangi wajahya dan ku usap air matanya.
“apa ini sudah waktunya”, kata ku dalam relung kalbu.. buah hati ku masih terisak dalam tangisnya. “ma, ceritakan tentang ayah walau hanya dalam dongeng pengantar tidur ku nanti malam”. Lepas kata itu, Ia pergi meninggalkanku masuk kedalam kamarnya. Sedangkan aku masih terdiam dalam lamunku, entah apa yang harus ku katakan padanya kelak tentang siapa ayahnya. Akankah dia sadar bahwa wajahnya yang oriental memnandakan bahwa Ia bukanlah gadis pribumi, dia berbeda dengan teman-teman sebayanya secara fisikly.


Tanpa disadari, waktu begitu sangat cepat berputar. Siang berganti malam, walau malam ini bulan bintang tak menampakan pesonanya. Yang ada hanya langit gelap dan angin bertiup agak kencang, seperti menandakan akan turun hujan. Waktu sudah menunjukan pukul 20.30 WIB, bersiap ku akan mendongeng untuk buah hatiku. Ku siapkan segala kekuatan untuk menguak masa lalu ku agar aku tak terlihat lemah di depan buah hatiku, walau nyatanya hati ini begitu rapuh jika harus berhadapan dengan cerita masa lalu yang tak kan pernah luput dari kenangan hidup.


Sekarang aku sudah berbaring tepat disamping buah hatiku. Terlihat sekali malam ini betapa Ia tak sabar untuk mendengarkan dongengku. Berbeda dengan malam-malam sebelumnya, belum selesai ku habiskan dongengku Ia sudah lelap tertidur, ehmm mungkin dapat dikatakan Ia sudah bosan mendengarkan dongeng ku tentang fabel dari malam ke malam.


Ku sadarkan bantal tegak di belakang ku agar aku dapat menyanggah buah hatiku yang berbaring di peluk ku. Ku tarik selimut dan ku usap kepalanya, Ia pun tersenyum kepada ku. “ma, ayo mulai ceritanya”. Itu pinta buah hatiku, aku pun tersenyum manis, walau nyatanya hati ini menangis pilu untuk mengingat kembali masa lalu. “Sayang, semua ayah itu adalah pahlawan, termasuk ayah mu”. Aku mulai membuka cerita dengan tahap pengenalan. Buah hati ku pun tersenyum kagum, membayangkan sosok ayahnya yang seorang pahlawan. “pahlawan itu kuat ma.” Balas buah hatiku. “ya, pahlawan itu kuat, termasuk ayahmu”. Buah hatiku pun tersenyum kagum, dan sepertinya Ia tak kan memejamkan matanya sebelum dongengku selesai. “Ayah adalah seorang pemimpin dan seorang pemimpin pasti mempunyai tanggung jawab yang besar, termasuk ayahmu.” Buah hatiku kembali tersenyum kagum. “Seorang pahlawan akan bertanggung jawab penuh atas negaranya, termasuk juga ayahmu”. “10 November selalu di peringati sebagai hari pahlawan ma, apa ayah termasuk disitu?.” Buah hati ku mulai melontarkan pertanyaan yang kritis. Aku terdiam sejenak, berfikir tentang apa yang harus aku jawab dari pertanyaan buah hatiku. Akhirnya aku memberikan jawaban yang kurang menyakinkan tapi untunglah buah hati ku tak banyak protes untuk jawaban yang satu ini. “Begitulah kira-kira” jawab ku santai. Buah hatiku tersenyum. “kamu belum ngatuk nak?”. Tanyaku. Buah hatiku menggelengkan kepalanya bertanda Ia belum ngatuk. Aku pun melanjutkan dongengku. “Masa itu, seorang ayah di wajibkan untuk berperang melawan penjajahan.” “Termasuk ayah ma?” tanya buah hatiku. “kali ini tidak.” Jawab ku. “kenapa?. Bukan kah ayah ku juga seorang ayah.” “ya, Ia ayah yang luar biasa. Dia bukan melawan penjajahan tapi Ia seorang penjajah.” “maksudnya?. Kalau begitu ayah bukan seorang pahlawan ma tapi seorang penjajah.” “Ia tetap pahlawan bagi negaranya.” Kelihatannya buah hatiku berfikir keras atas perkataan ku tadi, Ia berusaha mencerna dan mencari apa yang dimaksudkan oleh ku. Sebenarnya selepas kata itu aku tak sanggup lagi untuk melanjutkan dongeng ku ke tahap berikutnya. Emosi ku sudah mulai bercampur dengan darahku hingga hampir naik ke ubun-ubun ku. Untung aku masih bisa mengotrolnya hingga tak terlihat garis kemarahanku saat aku mengucapkan kata “penjajah.”

“sayang, malam sudah larut. Kamu tidur ya. Besok malam kita lanjutkan lagi.” Kali ini buah hati ku agak sedikit kecewa, tapi apa boleh buat aku tak dapat melanjutkan lagi dongengku. Ku lepas peluknya dan kubaringkan Ia dibantal tidurnya sembari menyelimutinya. Kucium keningnya dan ku hidupkan lampu tidurnya. Ku tutup pintunya sembari mematikan lampu dikamarnya.


Sungguh aku tak kuasa menahan segala rasa. Aku kembali kekamar tidur ku dan malam ini terasa sangat panjang bagiku. Mata ku belum sama sekali mengatuk, aku merasa sangat gelisah dipembaringanku. Sampai akhirnya, aku merasa ada yang membuka pintu kamar ku. Oh, ternyata Ia buah hatiku, langkah kaki menuju di pembaringanku. Aku pun tersenyum manis melihat raut manjanya. “ma, Lala ingin tidur disamping mama.” Pinta buah hatiku manja. “iya sayang.” Aku pun merangkulnya dalam selimutku. “kami berharap dapat bertemu dengan mu ayah, walau hanya dalam mimpi yang tak kan berujung dalam nyata hingga pagi tak ada rasa.”

the end*

karena sudah selesai membacanya, silakan ucapkan Alhamdulillah :)

2 komentar:

bagus ya tulsanmu
monggo dilanjut

terima kasih atas apresiasi nahh :)
tulisan afif juga baguss.bagus :)

Posting Komentar

Posting Lebih Baru Posting Lama Beranda

Blogger Template by Blogcrowds